18Dewa.com - Ceme Online, Poker Online
18Dewa.com - Berprofesi artis dengan bergelimang harta ternyata tidak membuat seseorang berpuas diri. Tergoda mimpi menjadi penguasa, para pelakon dunia seni pun mulai banyak yang banting setir lantas terjun ke ranah politik. Wajah-wajah artis dan aktor tidak hanya menghiasi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), banyak juga di antara mereka yang sudah menjadi kepala daerah.
Sebut saja aktor senior dan kawakan Dedy Mizwar menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Sebelum Dedy Mizwar, Dede Yusuf sudah lebih dulu menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Ada pula aktio muda Zumi Zola, Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi. Rano Karno yang kini duduk sebagai Gubernur Banten. Atau Dicky Chandra yang pernah mencicipi kursi Wakil Bupati Garut sebelum akhirnya mundur pada 2011.
Pilkada Serentak tahun ini juga diwarnai keikutsertaan sejumlah artis yang berambisi menjadi kepala daerah baik bupati, wali kota atau gubernur. Minimal mereka sudah punya modal yakni popularitas. Mereka cukup dikenal masyarakat lantaran wajahnya sering mondar mandir di televisi.
Sebut saja Sigit Purnomo Said. Dia lebih dikenal dengan sapaan Pasha Ungu. Vokalis grup musik pop Ungu tersebut bertarung untuk menjadi wakil wali kota Palu, Sulawesi Tengah. Selanjutnya, nama presenter kondang Helmi Yahya yang mencoba peruntungan dengan mencatatkan namanya sebagai calon Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Tidak ada salahnya banyak artis banting setir hingga ikut serta dalam Pilkada Serentak. Hanya saja, memang tidak ada jaminan menjadikan sebuah daerah lebih maju dari sebelumnya. Pengamat sosial Musni Umar mengimbau masyarakat tidak cepat luluh memilih calon pimpinan daerah berasal dari pekerja seni. Meski tenar belum tentu pola pikirnya lebih bagus.
"Kalau cuma dilihat dia cantik, ganteng atau populer itu kacau. Tetapi pilihlah dari pendidikannya dan akhlahknya yang bagus," kata Musni kepada merdeka.com, Sabtu (5/12).
Musni mengakui, ada kekhawatiran, artis yang menjadi calon pimpinan daerah sulit hidup merakyat. Sebab mereka terbiasa dengan gaya hidup mewah semasa jadi artis. Ini diperkirakan sulit diubah. Kekhawatiran ini bakal berdampak luas. Kesan yang muncul, artis jadi pimpinan daerah hanya untuk kekuasaan, memperkaya diri bukan mengabdi kepada rakyat.
"Kekurangannya itu sesungguhnya kehidupannya glamor. Ke depannya bukannya memikirkan rakyat, malah tampil dengan barang-barang mewah di masyarakat, tetapi enggak beri manfaat. Namun itu semua dikembalikan ke masyarakat," ujarnya.
Popularitas artis sesungguhnya tidak menjamin bakal memenangkan pilkada. Apalagi jika lawan yang dihadapi adalah kepala daerah incumbent atau petahana. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz melihat para calon petahana lebih dikenal dibanding pesaing barunya, termasuk jika berasal dari kalangan artis.
"Misalnya yang petahan, memang lebih bagus, terkenal dengan kebijakan dan macem-macem di masyarakat," ujar Masykurudin.
Pesaing petahana memerlukan energi besar agar dikenal konstituennya. Meski begitu, mereka tetap punya keuntungan yakni belum mempunyai catatan buruk di mata masyarakat. Berbeda dengan petahana yang memang sudah dikenal, apalagi jika dikenal masyarakat karena 'prestasi buruk'.
Beratnya mengenalkan diri ke orang lain tampaknya bukan kesulitan bagi para artis. Modal tenar seharusnya bisa dimanfaatkan baik para artis. Mereka hanya tinggal meyakinkan masyarakat bahwa dirinya mampu memimpin.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon